Minggu, 28 Juni 2009

Sekolah Dari Zaman Ke Zaman

Berilah anakmu pendidikan yang layak, karena mereka akan hidup di zaman yang berbeda sama sekali dengan zamanmu. Kalimat tersebut adalah salah satu pepatah dari Ali bin Abi Tholib ra. kepada sahabat-sahabatnya. Pepatah ini sudah berusia 14 abad, namun sangat terasa hari ini kebenarannya. Menurut wikipedia bahasa Indonesia; Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Jadi jelas tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi diri si peserta didik, tentunya hal ini harus disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Setiap zaman berbeda kebutuhannya. Ketika zaman keemasan raja-raja di Nusantara lalu, setiap masyarakat dididik sesuai dengan kelas sosialnya atau kastanya. Misalnya golongan agamawan mendidik anak-anaknya untuk belajar agama lebih dalam dari golongan lain. Kaum bangsawan mendidik anak-anaknya dengan pelajaran politik, etika, berperang dll. Begitu pula dengan kaum saudagar yang mendidik anaknya untuk menjadi pengusaha yang lebih hebat dari orang tuanya. Bahkan rakyat jelata pun turut mendidik anak-anaknya untuk menjadi rakyat kecil yang patuh kepada kerajaan. Disinilah populer dengan istilah "darah dan keturunan dalam profesi". Ketika masuk orang-orang Eropa (penjajah) ke wilayah Nusantara, maka terjadilah pergeseran orientasi pendidikan dalam keluarga-keluarga Nusantara. Karena di Eropa tengah terjadi pencerahan besar-besaran maka pengaruh ini pun turut berimbas ke Nusantara. Bagi sebagian masyarakat yang mengerti akan perubahan zaman, mereka mengupayakan pendidikan bagi anak-anaknya yang lain dari kebiasaan. Contohnya adalah ayahanda dari R.A. Kartini yang memasukan anaknya ini ke sekolah Belanda. Dimana menurut kebiasaan masyarakat Jawa waktu itu mereka hanya menyekolahkan anak lelakinya ke sekolah yang lebih tinggi. Ketika zaman memasuki era politik balas budi Belanda kian besarlah pergeseran budaya pendidikan itu. Seorang anak keturunan orang yang bukan bangsawan pun bisa menjadi Insinyur. Belanda memang sangat membutuhkan tenaga kerja pada waktu itu akibat pengaruh revolusi industri. Jadi, dibuatlah sekolah-sekolah bagi warga pribumi untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di pabrik-pabrik, stasiun kereta api, perbengkelan, dan bidang-bidang lainnya. Tujuannya adalah mendapatkan tenaga kerja murah. Tapi tenaga kerja ini hanya menduduki level-level rendah, untuk level yang lebih tinggi tetap saja orang Belanda sendiri yang mendudukinya. Nah, sejak zaman Industri inilah bentuk dan konsep sekolah dipakai hingga zaman sekarang. Menurut Kang Ajip Rosidi dalam bukunya "Korupsi dan Kebudayaan", sekolah di Indonesia pasca kemerekaan merupakan bentukan sekolah-sekolah zaman Belanda. Seperti yang kita ketahui, sekolah di zaman Belanda ada 2 macam, yaitu sekolah untuk pribumi dan sekolah untuk kulit putih. Apa perbedaannya? apakah hanya dari muridnya saja? tentunya pembaca tahu bahwa bukan itu saja yang berbeda. Kurikulum yang menjadi nyawa bagi sekolah-sekolah dibuat berbeda. Anak-anak pribumi mendapatkan pelajaran untuk menjadi bangsa terjajah-menjadi pekerja bawahan, sedangkan anak-anak Belanda mendapatkan pelajaran untuk memimpin seperti ilmu manajemen. Anehnya begitu kita merdeka, sekolahnya masih meneruskan konsep sekolah pribumi untuk menjadi bangsa terjajah. Buktinya? ketika berakhir perang dunia ke-2 hampir semua negara dalam keadaan bangkrut. Belanda, Inggris, Perancis dan negara Eropa lainnya hancur akibat Nazi. Jerman dan Italia sudah pasti hancur karena mereka di pihak yang kalah. Jepang apalagi, hampir setiap kota di sana dikunjungi oleh bom-bom Amerika. Yang terdahsyat di Nagasaki dan Hiroshima. Amerika yang menjadi pemenang perang pun banyak sekali terkuras kekayaannya. Sampai-sampai waktu itu Piala Oscar yang menjadi icon perfilman Amerika dibuat dari kayu karena persediaan logam yang mengkhawatirkan. Tapi apa yang terjadi ketika beberapa waktu kemudian? Negara-negara yang menjadi biang kerok kekacauan di dunia ini maju sangat pesat walau dengan kondisi sumber daya alam yang minim. Tentunya faktor pendidikan sangat menunjang dalam kemajuan itu. Mereka punya visi yang dilaksanakan. Ada sepenggal kisah ketika Jepang dinyatakan kalah perang, Sang Kaisar memerintahkan kepada menterinya untuk menghimpun para guru. Beliau sadar akan pendidikan untuk memulihkan keadaan. Tapi walau begitu menurut Edward de Bono, kurikulum pendidikan di dunia tidak banyak berubah selama 60 tahun. Sedangkan di bidang industri setiap 3 tahun sekali selalu ada terobosan baru. Jadi sekarang dibutuhkan terobosan untuk menyusulnya. Lihat saja di sekitar kita ruangan SD atau SMP yang dulu kita pernah sekolah apakah ada yang berubah? Masih bangku dan papan tulis sebagai penghuni tetap, yang berganti paling-paling hanya bangunan yang diperbaharui dan gambar-gambar di dinding. Tapi lihat di rumah kita, ada DVD, HP, PS, Komputer, kulkas, microwave, Toyota Avanza dll. Apakah ini sama keadaannya seperti pada waktu kita SD dulu? Apa maksudnya? Seandainya sekolah-sekolah di Indonesia dilengkapi peralatan yang serba canggih, kurikulum yang memberikan terobosan dan pelatihan-pelatihan yang memberikan rangsangan untuk maju seperti di kelas-kelas motivasi bisnis. Tentunya akan lain keadaannya dengan sekarang ini. Seperti yang baru-baru ini berkembang, di Indonesia telah tumbuh beberapa lembaga konsultan pendidikan yang berbasis kepada potensi si anak. Tujuannya adalah memperkuat sisi kelebihan si anak. Beberapa orang diantaranya setelah konsultasi pindah ke bidang yang memang diminati si anak sehingga bisa berprestasi. Semoga ke depannya tidak ada lagi anak yang dikategorikan bodoh hanya karena salah masuk ke jurusan yang bukan bakatnya. Apakah Anda yakin bahwa sekolah-sekolah di Indonesia akan berubah seperti itu? Kalau saya yakin bisa!

1 komentar:

  1. Semoga pendidikan sekarang lebih berkembang dan dapat diakses oleh orang ekonomi bawah sekalipun. sehingga tidak terjadi penyimpangan seperti jaman dulu yang sekolh hanya orang-orang priayi saja.

    BalasHapus